Ada sebuah pertanyaan yang sangat penting yang akan sulit untuk kita jawab terkait dengan kondisi bangsa kita hari ini. Pertanyaan tersebut adalah mengapa setelah kemerdekaan politik 17 Agustus 1945 dan setelah terbukanya kebebasan politik Mei 1998, Indonesia tidak pernah bangkit dan tidak pernah mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat ?
Pada pertengahan tahun 1960-an, GNP perkapita Indonesia, Malaysia dan Taiwan, nyaris sama, yaitu kurang dari US$ 100 per kapita. China bahkan jauh lebih rendah sekitar US$ 50 per kapita. Tetapi pada tahun 2005, GNP per kapita Indonesia hanya sekitar US$ 1.260. sementara Malaysia 4 kali kita, Korea selatan 13 kali kita, Thailand 2 kali kita, Taiwan 12 kali kita dan bahkan China telah menjadi 14 kali kita. Selama 40 tahun terakhir, Indonesia paling tertinggal dibandingkan dengan negara-negara Asia lainya. Saat ini negara-negara Asia Timur tersebut sudah semakin meninggalkan kita. Kita terpaksa bersaing dengan negara-negara seperti Vietnam, Filipina dan Pakistan. Sungguh negri ini telah sedemikian terpuruk dan bingung mencari jawaban bagaimana harus bangkit dari keterpurukan tersebut.
Penyebab utama mengapa Indonesia tidak pernah bangkit, walaupun telah memiliki kemerdekaan dan kebebasan politik, adalah karakter feodal dari para pemimpin. Para pemimpin kebanyakan berasal dari kalangan Priyayi, tradisional maupun moderen yang merasa tidak memiliki kuwajiban untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dalam sistem feodal atau neofeodalisme, kekuasaan berasal dari hubungan biologis dan romantisme historis serta legimasi pencitraan semu, di mana rakyat hanya diperlukan pada saat Pemilu dan sekedar penggembira. Dalam budaya feodal atau neo-feodalisme ini pemimpin tidak memiliki kewajiban sakral, tidak memiliki noblesse oblige dan tidak memiliki semangat bushido untuk berjuang dan berkorban demi meningkatkan kesejahteraan rakyat dan kemajuan bangsanya. Di negara-negara yang maju di Asia Timur, para pemimpinya memiliki kewajiban sakral dan semangat bushido untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya, baik karena alasan ideologis (China), semangat nasionalisme dan kemandirian (Jepang dan Malaysia) dan alasan survival (Singapura, Korea dan Taiwan).
Alasan kedua, mengapa Indonesia tidak mampu meningkatkan kesejahteraan mayoritas rakyatnya adalah karena adanya the creeping back of neocolonialism atau kembalinya neokolonialisme. Para pejuang kemerdekaan kita sejak tahun 1908 dan para pendiri Republik Indonesia berjuang dan berkorban melawan berbagai bentuk imperealisme dan kolonialisme. Bung Karno dalam pidatonya di Pengadilan Negri Bandung tahun 1930 “ Indonesia Menggugat” dan Bung Hatta dalam bukunya “Indonisia Vrij” secara sangat jelas dan rinci menjelaskan bahaya dan kerusakan yang diakibatkan oleh sistem imperealisme dan kolonialisme.
Pada saat konferensi meja bundar 1949, Soekarno-Hatta menyetujui pembayaran utang Hindia Belanda oleh Indonesia, asalkan Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia, tetapi persetujuan itu hanya taktik, dalam kenyataanya Pemerintahan Soekarno-Hatta tidak pernah melaksanakan pembayaran utang tersebut karena bertolak belakang dengan prinsip keadilan.
Namun yang disayangkan setelah Soekarno jatuh, Pemerintah Orde Baru melalui Mafia Berkeley melakukan negosiasi ulang tentang utang-utang Indonesia pada tahun 1969. mereka sepakat untuk mencicil utang warisan Pemerintah Hindia Belanda. Artinya mereka sepakat untuk membayar biaya penjajahan pemerintah Hindia Belanda, membayar biaya penindasan kepada rakyat Indonesia.
Sejak saat itulah, tidak peduli siapapun Presidennya, siapa partai yang berkuasa, Mafia Ekonom Orde Baru dengan sengaja mendesain kebijakan Indonesia sekedar hanya menjadi subordinasi dan alat dari kepentingan internasional. Itulah yang kami sebut sebagai neokolonialisme.
Penyebab ketiga mengapa Indonesia tidak mampu meningkatkan kesejahteraan rakyatnya adalah Kepemimpinan yang lemah dan tidak efektif. Kepemimpinan yang lemah dan tidak efektif tersebut adalah cerminan dari visi dan karakter yang lemah, sehingga mudah goyang hanya karena adanya perubahan kepentingan taktis, perubahan opini, dan respon pencitraan situasional.
Pertanyaan berikutnya ialah, masihkah ada harapan untuk meningkatkan kesejahteraan mayoritas rakyat kita dan membawa Indonesia menjadi salah satu negara besar di Asia. Dibutuhkan “Jalan Baru” untuk kembali membawa Indonesia bangkit dari keterpurukan. Berangkat dari amanat realitas diatas maka terlahirlah Komite Bangkit Indonesia yang akan memperjuangkan “Jalan Baru”, jalan anti neokolonialisme, jalan yang lebih mandiri yang akan membawa kesejahteraan dan kemakmuran mayoritas rakyat Indonesia.
Dengan sebuah tekad bulat mari kita hapuskansegala bentuk neokolonialisme dari bumi Indonesia! Tinggalkan “jalan lama”, yang gagal membawa kemakmuran dan kesejahteraan! Kita rebut kembali kedaulatan politik dan ekonomi ! Hanya dengan jalan baru, kemakmuran dan kesejahteraan akan kita capai!, Hanya dengan “jalan baru”, Indonesia akan segera bangkit !
Pada pertengahan tahun 1960-an, GNP perkapita Indonesia, Malaysia dan Taiwan, nyaris sama, yaitu kurang dari US$ 100 per kapita. China bahkan jauh lebih rendah sekitar US$ 50 per kapita. Tetapi pada tahun 2005, GNP per kapita Indonesia hanya sekitar US$ 1.260. sementara Malaysia 4 kali kita, Korea selatan 13 kali kita, Thailand 2 kali kita, Taiwan 12 kali kita dan bahkan China telah menjadi 14 kali kita. Selama 40 tahun terakhir, Indonesia paling tertinggal dibandingkan dengan negara-negara Asia lainya. Saat ini negara-negara Asia Timur tersebut sudah semakin meninggalkan kita. Kita terpaksa bersaing dengan negara-negara seperti Vietnam, Filipina dan Pakistan. Sungguh negri ini telah sedemikian terpuruk dan bingung mencari jawaban bagaimana harus bangkit dari keterpurukan tersebut.
Penyebab utama mengapa Indonesia tidak pernah bangkit, walaupun telah memiliki kemerdekaan dan kebebasan politik, adalah karakter feodal dari para pemimpin. Para pemimpin kebanyakan berasal dari kalangan Priyayi, tradisional maupun moderen yang merasa tidak memiliki kuwajiban untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dalam sistem feodal atau neofeodalisme, kekuasaan berasal dari hubungan biologis dan romantisme historis serta legimasi pencitraan semu, di mana rakyat hanya diperlukan pada saat Pemilu dan sekedar penggembira. Dalam budaya feodal atau neo-feodalisme ini pemimpin tidak memiliki kewajiban sakral, tidak memiliki noblesse oblige dan tidak memiliki semangat bushido untuk berjuang dan berkorban demi meningkatkan kesejahteraan rakyat dan kemajuan bangsanya. Di negara-negara yang maju di Asia Timur, para pemimpinya memiliki kewajiban sakral dan semangat bushido untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya, baik karena alasan ideologis (China), semangat nasionalisme dan kemandirian (Jepang dan Malaysia) dan alasan survival (Singapura, Korea dan Taiwan).
Alasan kedua, mengapa Indonesia tidak mampu meningkatkan kesejahteraan mayoritas rakyatnya adalah karena adanya the creeping back of neocolonialism atau kembalinya neokolonialisme. Para pejuang kemerdekaan kita sejak tahun 1908 dan para pendiri Republik Indonesia berjuang dan berkorban melawan berbagai bentuk imperealisme dan kolonialisme. Bung Karno dalam pidatonya di Pengadilan Negri Bandung tahun 1930 “ Indonesia Menggugat” dan Bung Hatta dalam bukunya “Indonisia Vrij” secara sangat jelas dan rinci menjelaskan bahaya dan kerusakan yang diakibatkan oleh sistem imperealisme dan kolonialisme.
Pada saat konferensi meja bundar 1949, Soekarno-Hatta menyetujui pembayaran utang Hindia Belanda oleh Indonesia, asalkan Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia, tetapi persetujuan itu hanya taktik, dalam kenyataanya Pemerintahan Soekarno-Hatta tidak pernah melaksanakan pembayaran utang tersebut karena bertolak belakang dengan prinsip keadilan.
Namun yang disayangkan setelah Soekarno jatuh, Pemerintah Orde Baru melalui Mafia Berkeley melakukan negosiasi ulang tentang utang-utang Indonesia pada tahun 1969. mereka sepakat untuk mencicil utang warisan Pemerintah Hindia Belanda. Artinya mereka sepakat untuk membayar biaya penjajahan pemerintah Hindia Belanda, membayar biaya penindasan kepada rakyat Indonesia.
Sejak saat itulah, tidak peduli siapapun Presidennya, siapa partai yang berkuasa, Mafia Ekonom Orde Baru dengan sengaja mendesain kebijakan Indonesia sekedar hanya menjadi subordinasi dan alat dari kepentingan internasional. Itulah yang kami sebut sebagai neokolonialisme.
Penyebab ketiga mengapa Indonesia tidak mampu meningkatkan kesejahteraan rakyatnya adalah Kepemimpinan yang lemah dan tidak efektif. Kepemimpinan yang lemah dan tidak efektif tersebut adalah cerminan dari visi dan karakter yang lemah, sehingga mudah goyang hanya karena adanya perubahan kepentingan taktis, perubahan opini, dan respon pencitraan situasional.
Pertanyaan berikutnya ialah, masihkah ada harapan untuk meningkatkan kesejahteraan mayoritas rakyat kita dan membawa Indonesia menjadi salah satu negara besar di Asia. Dibutuhkan “Jalan Baru” untuk kembali membawa Indonesia bangkit dari keterpurukan. Berangkat dari amanat realitas diatas maka terlahirlah Komite Bangkit Indonesia yang akan memperjuangkan “Jalan Baru”, jalan anti neokolonialisme, jalan yang lebih mandiri yang akan membawa kesejahteraan dan kemakmuran mayoritas rakyat Indonesia.
Dengan sebuah tekad bulat mari kita hapuskansegala bentuk neokolonialisme dari bumi Indonesia! Tinggalkan “jalan lama”, yang gagal membawa kemakmuran dan kesejahteraan! Kita rebut kembali kedaulatan politik dan ekonomi ! Hanya dengan jalan baru, kemakmuran dan kesejahteraan akan kita capai!, Hanya dengan “jalan baru”, Indonesia akan segera bangkit !
No comments:
Post a Comment